Church Life

Bagaimana Orang Percaya yang Lebih Tua Dapat Mendukung Generasi Z dengan Lebih Baik?

Generasi berikutnya menghargai keterbukaan pikiran dan sangat skeptis terhadap institusi keagamaan. Namun mereka belum meninggalkan Tuhan.

Christianity Today January 31, 2025
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Getty Images

Pada tahun 2021, Springtide Research Institute menerbitkan laporan tentang “Kondisi Agama dan Kaum Muda.” Dari data tersebut, institusi ini mengidentifikasi tren yang mereka sebut “keimanan yang tidak terikat.”

  • 53% orang muda mengatakan, “Saya setuju dengan beberapa hal yang diajarkan agama saya, tetapi tidak semua.”
  • 55% orang muda mengatakan, “Saya tidak merasa perlu terikat dengan agama tertentu.”
  • 47% orang muda mengatakan, “Saya merasa cocok dengan banyak agama yang berbeda.”

Angka-angka ini tidak mengejutkan bagi saya. Generasi Z (Gen Z) merupakan kelompok usia yang paling beragam secara ras dan etnis sekaligus yang paling tidak religius dalam sejarah Amerika. Pada tahun 2019, jajak pendapat Barna Group menemukan bahwa, di antara penganut agama Kristen yang taat, generasi milenial “rata-rata memiliki empat teman dekat atau anggota keluarga yang menganut agama selain Kristen; Sebagai perbandingan, sebagian besar orang tua dan kakek-nenek mereka yang merupakan generasi Baby Boomer, hanya memiliki satu.” Saya menduga angka ini bahkan lebih tinggi di antara rekan-rekan Kristen saya, karena kami berada dalam komunitas bersama para pemeluk agama lain dan dengan kaum nones (orang-orang yang tidak mengidentifikasi diri mereka dengan afiliasi agama apa pun).

Data juga menunjukkan bahwa Gen Z cenderung menghindari ruang-ruang keagamaan tradisional. Dari laporan Springtide:

  • 55% orang muda mengatakan, “Saya merasa tidak bisa menjadi diri saya seutuhnya dalam jemaat yang religius.”
  • 45% orang muda mengatakan, “Saya tidak merasa aman di dalam institusi agama atau kepercayaan.”
  • 47% orang muda mengatakan, “Saya tidak percaya pada agama, keyakinan, atau pemimpin agama dalam organisasi semacam itu.”
  • Hampir 50% orang muda mengatakan kepada Springtide bahwa mereka tidak beralih ke komunitas agama karena mereka kurang percaya pada jemaat, kepercayaan, dan sistem agama yang terorganisasi.

Ketika orang Kristen yang lebih tua mendengar tentang cara Gen Z “melepaskan diri” atau “mendekonstruksi” imannya, mereka bisa menjadi takut. Mungkin keterbukaan pikiran sama dengan relativisme moral. Mungkin kepercayaan yang hilang tidak dapat diperoleh kembali.

Sebagai anggota Gen Z, saya sendiri tidak punya kekhawatiran ini. Seringkali, berdialog dengan orang-orang yang memiliki perspektif berbeda membawa kita kembali ke—bukan menjauh dari—“Kebenaran” yang objektif. Saat kami semakin dewasa dalam iman, kami membutuhkan orang percaya yang lebih tua untuk mendukung dalam pertimbangan-pertimbangan kami, daripada menghindar dari pertanyaan dan kekhawatiran kami.

Musim gugur ini, sebagai bagian dari NextGen Initiative kami dan dalam kemitraan dengan TENx10, CT menyelenggarakan serangkaian lokakarya penulisan untuk orang-orang Kristen yang berusia akhir belasan tahun dan awal dua puluhan. Harapan kami: Melihat lebih banyak orang muda muncul di laman-laman kami, yang mencerminkan keberagaman generasi dalam gereja, dan memungkinkan orang percaya yang senior untuk lebih memahami kekuatan serta tantangan saudara-saudari mereka yang lebih muda dalam iman.

Sebagai permulaan, kami telah memilih beberapa tanggapan, yang dikirimkan oleh para peserta lokakarya, terhadap pertanyaan berikut ini:

—Claire Nelson, Koordinator Proyek Impact, CT

Bagaimana orang percaya yang lebih tua dapat mendukung orang-orang Kristen Gen Z dengan lebih baik?

Orang percaya yang lebih tua dapat mendukung orang Kristen Gen Z lebih baik dengan melepaskan mentalitas “jangan tanya, jangan beri tahu” seputar seks dan keintiman yang telah merasuki kalangan Kristen dalam beberapa dekade terakhir.

Selama masa SMP dan SMA saya di tahun 2010-an, saya mengalami banyak dampak dari budaya kesucian—penghinaan terhadap tubuh, seksualisasi terhadap perempuan muda, dan penggunaan taktik menakut-nakuti untuk mencegah remaja melakukan seks pranikah. Pengalaman saya di kelompok remaja merupakan perpaduan yang aneh antara obsesi berlebihan terhadap tubuh perempuan dan “ancaman” yang kami timbulkan bagi para rekan pria kami, dikombinasikan dengan rasa enggan (dan sering kali takut) terhadap topik-topik seperti keintiman dan seksualitas.

Narasi yang diajarkan di gereja membuat saya percaya bahwa tubuh saya berbahaya, bahwa laki-laki adalah monster penuh nafsu yang tidak bisa dipercaya, dan bahwa selama saya menunggu sampai menikah, kehidupan seks saya akan diberkati dan memuaskan. Saya memasuki usia dua puluhan tanpa pengetahuan praktis tentang cara mendekati hubungan yang sehat atau mengatasi kehancuran seksual. Satu-satunya hal yang saya tahu pasti adalah bahwa para wanita di gereja saya tidak merasa nyaman membahas hal-hal yang perlu saya bicarakan.

Baru-baru ini, ketika saya dengan malu-malu mulai mendekati topik seputar seksualitas dengan perempuan seusia saya, saya mendapati bahwa kami semua sangat membutuhkan nasihat bijak tentang tubuh kami, tentang pernikahan, dan tentang menjadi wanita yang saleh. Saya juga menemukan bahwa sebagian besar dari kami merasa tidak banyak wanita di gereja yang aman untuk diajak berdiskusi tentang topik-topik ini.

Saat mulai berpacaran, saya menyadari bahwa pria seusia saya juga sedang mencari bantuan. Para pria Gen Z tengah mencari pertolongan terkait kehancuran seksual, mendambakan mentoring dari pria seraya mereka mempertimbangkan mengenai pernikahan dan menjadi seorang ayah.

Seperti yang dikatakan Kristus, “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Mat. 9:37). Generasi yang lebih tua dapat mendukung Gen Z lebih baik dengan cukup peduli untuk mengatasi rasa malu mereka sendiri terhadap topik-topik ini dan mendorong percakapan yang rentan dengan generasi yang lebih muda. Dunia sekuler memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang apa artinya menjadi pria atau wanita di dunia modern. Budaya populer tidak malu-malu dalam hal seks, dan gereja seharusnya juga demikian.

Orang Kristen Generasi Z menginginkan dan membutuhkan orang Kristen yang lebih tua untuk bersikap jujur mengenai apa artinya menjadi seorang wanita milik Allah; Mengenai apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kecanduan seksual; Mengenai apa artinya memiliki pernikahan yang berpusat pada Kristus. Ini bukan soal apakah generasi muda akan diajarkan tentang pernikahan, seks, atau kesenangan. Ini adalah pertanyaan tentang siapa yang mengajar. Permohonan saya kepada orang-orang Kristen yang senior: Tolong, kiranya guru itu adalah Anda sendiri.

Olivia Voegtle adalah seorang penulis, musisi, dan editor lepas yang tinggal di New York City. Ia menerima gelar BA dalam bidang bahasa Inggris dari The King’s College.

Kita tidak boleh membiarkan kesenjangan generasi menghalangi “persaudaraan rohani” kita.

Orang percaya senior yang berusaha mendukung Gen Z seharusnya tidak memikirkan tentang bagaimana mereka dapat lebih menyesuaikan metode pemuridan dan strategi pelayanan mereka dengan budaya kaum muda. Hal itu akan terasa terlalu dibuat-buat dan menjilat. Sebaliknya, bagaimana orang percaya yang lebih tua dapat bersikap konstruktif terhadap budaya Gen Z?

Begitu banyak perbincangan seputar perbedaan generasi yang membahas tentang betapa perbedaan itu tidak dapat diperbaiki. Bagaimana jika orang Kristen adalah sebuah kelompok demografi yang melawan tren tersebut? Hal yang diinginkan oleh banyak orang Kristen Gen Z adalah untuk tidak lagi dipandang sebagai anak-anak, melainkan agar mereka dihargai. Ini bukan semacam penghormatan yang didapatkan para profesional, profesor, atau politisi—melainkan rasa dihargai yang secara alami diberikan seperti kepada orang dewasa.

Cara yang efektif tetapi sering diabaikan untuk menghargai seseorang adalah dengan menganggap mereka layak untuk dijadikan teman. Sering kali, orang Kristen yang lebih tua ingin “memuridkan” orang percaya yang lebih muda tanpa adanya hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. Orang-orang Kristen muda tidak ingin dimuridkan oleh sembarang orang Kristen senior, melainkan oleh seseorang yang ingin mereka teladani. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa mereka ingin meneladani seseorang tanpa mengenalnya?

Jika kita sadar akan kenyataan bahwa kita semua adalah saudara dan saudari di dalam Kristus, maka ada ruang bagi mereka yang terpaut satu, dua, bahkan tiga generasi untuk menjadi kawan sejati. Ketika generasi yang lebih tua menjalin koneksi dengan seseorang di Gen Z sebagai kesempatan untuk pelayanan atau penjangkauan, hal itu sering kali membuat generasi muda merasa dikasihani, direndahkan, bahkan disamakan dengan sebuah proyek (1Tim. 4:12). Akan jauh lebih baik jika generasi Kristen yang lebih tua dapat memandang Gen Z sebagai saudara dan saudari mereka di dalam Kristus; keluarga mereka sendiri (1Tim. 5:1–2; Ef. 3:19–22; Gal. 6:10; Tit 2:1–8).

Ini bukanlah hal yang tidak masuk akal atau tak terbayangkan, tetapi dalam budaya saat ini, persahabatan lintas generasi ini tentu saja tidak lazim. Secara praktis, berbagi kopi, makanan, dan percakapan yang autentik adalah cara untuk memupuk “persaudaraan rohani” ini (1Ptr. 4:9). Bayangkan pengaruh yang akan terpancar dari sebuah gereja yang berhasil membina hubungan semacam ini. Kehidupan yang bukan hanya sebagai teman sejawat atau sederajat, melainkan sebagai saudara, orang tua, sepupu, bibi, paman, secara rohani—keluarga rohani yang mencerminkan kerajaan Allah.

Elijah O’Dell adalah seorang pendeta dan pemimpin ibadah yang tinggal di Midwest.

Dalam Titus 2, Paulus mendesak pria dan wanita saleh agar tidak hanya hidup sesuai dengan Firman Tuhan, tetapi juga mengajar, melatih, dan mendorong orang percaya yang lebih muda untuk menjalani hidup sesuai panggilan Tuhan atas mereka.

Ketika orang-orang percaya dari Gen Z bertumbuh secara rohani, pertumbuhan tersebut tidak hanya terbatas di gereja atau pelayanan kampus mereka. Pertumbuhan itu akan meluas hingga di luar lingkaran Kristen mereka, menanamkan benih-benih Firman Tuhan di antara orang-orang di sekitar mereka. Mentoring rohani tidak hanya menguatkan orang Kristen muda, tetapi juga memperlengkapi orang percaya yang muda untuk berbagi kasih dan hikmat kepada orang-orang yang belum percaya di sekitar mereka, sehingga mereka dapat menjadi mercusuar terang dan kebenaran Injil.

Dalam Matius 5:16, Yesus berkata, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.” Dengan hidup dalam kasih, kekudusan, dan kebenaran seperti Kristus, orang-orang percaya akan menjangkau dunia.

Jika tidak ada persekutuan dan persahabatan sejati antara orang percaya yang lebih tua dengan Gen Z, orang percaya yang masih muda akan kehilangan contoh-contoh yang menguatkan tentang kuasa Allah.

Hannah Davis adalah mahasiswa tingkat akhir yang mempelajari bahasa Inggris. Dia menjalani musim panas lalu di Afrika Selatan untuk magang di bidang jurnalisme Kristen.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Public Theology Project

Sepatah Kata untuk Orang Kristen yang Putus Asa

Injil itu nyata. Kisah-kisahnya benar terjadi. Kristus telah bangkit, dan Yesus menyelamatkan. Mengapa kita harus berpaling dari hal itu?

Keraguan adalah Tangga, Bukan Rumah

Gereja seharusnya terbuka terhadap berbagai pertanyaan. Itu tidak berarti gereja harus terus-menerus bersikap ragu dan tidak jelas.

Penyakit Parkinson—Hadiah yang Tidak Saya Inginkan

Saya telah menghabiskan waktu bertahun-tahun menulis tentang penderitaan dan kesengsaraan. Kini saya akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar bagaimana hidup dengan disabilitas fisik.

Ketika Tiba Saatnya

Pada Kamis Putih ini, marilah kita mengingat betapa panjang dan dalamnya kasih Yesus yang rela mati.

Bahkan sampai Mati

Yesus memberikan teladan tentang bagaimana rasanya datang ke dalam hadirat Tuhan dengan terjatuh—menyakitkan tetapi penuh harapan.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube