Theology

Keraguan adalah Tangga, Bukan Rumah

Gereja seharusnya terbuka terhadap berbagai pertanyaan. Itu tidak berarti gereja harus terus-menerus bersikap ragu dan tidak jelas.

Christianity Today April 26, 2025
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Getty / Lightstock / Unsplash

Apa yang membuat kekristenan menjadi sulit?

Ada banyak kemungkinan jawaban untuk pertanyaan ini. Cara Anda menjawabnya akan mengungkapkan banyak hal, tidak hanya tentang diri Anda sendiri—temperamen Anda, kedudukan Anda, pikiran dan hati Anda—tetapi juga tentang konteks di mana Anda hidup. Orang-orang Kristen di waktu dan tempat yang berbeda akan menjawab dengan cara yang berbeda pula.

Misalnya, Anda tinggal di Yerusalem hanya beberapa dekade setelah penyaliban Yesus. Yang membuat kekristenan menjadi sulit bukanlah kepercayaan pada hal-hal rohani atau jarak yang jauh yang memisahkan Anda dari “zaman Alkitab.” Anda berada di zaman Alkitab, dan semua orang percaya pada hal-hal rohani. Tidak, yang membuat kekristenan menjadi sulit adalah panasnya penganiayaan secara legal dan penolakan sosial. Mengakui nama Kristus kemungkinan besar akan membuat hidup Anda menjadi lebih buruk dalam berbagai cara: Keluarga Anda mungkin tidak mengakui Anda; atasan Anda mungkin akan menganiaya Anda; teman-teman Anda mungkin akan mencemooh Anda. Pihak berwenang mungkin akan menangkap Anda untuk diinterogasi jika Anda dianggap sebagai pembuat onar.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Atau misalkan Anda adalah seorang biarawati di sebuah biara abad pertengahan. Anda akan menjalani seluruh hidup Anda di tempat itu, tidak pernah menikah atau melahirkan anak atau memiliki rumah sendiri. Anda mendedikasikan diri kepada Tuhan sampai mati. Anda adalah apa yang orang-orang sebut sebagai seorang “mistikus,” meskipun itu adalah istilah yang kurang tepat untuk penglihatan yang sering Anda alami sebagai penderitaan: sekilas pandangan penuh kegembiraan akan api yang menghanguskan, yang adalah Tuhan yang hidup. Apa yang membuat kekristenan menjadi sulit? Anda tentu tidak bertanya-tanya tentang keberadaan Allah—Anda telah melihat Allah dengan mata kepala Anda sendiri. Ketenaran dan kekayaan juga bukan sumber pencobaan bagi Anda; hidup Anda tersembunyi dari dunia. Namun, hidup Anda tidaklah mudah. Iman tetaplah sulit.

Atau bayangkan Anda adalah orang lain, di tempat lain: Seorang imam di paroki pedesaan di Inggris di awal zaman modern. Anda hidup di masa pergolakan agama dan politik. Reformasi telah menjungkirbalikkan pola-pola penyembahan yang telah ada sejak lama dan harapan akan persatuan. Perang agama berkecamuk di benua itu, tetapi tugas Anda yang jelas tidak spektakuler adalah menggembalakan sebuah desa yang dihuni keluarga-keluarga petani. Apa yang membuat kekristenan menjadi sulit di sini? Konflik agama mungkin menjadi bagiannya, tetapi yang jauh lebih dekat dengan Anda adalah rutinitas yang sangat membosankan, kesibukan harian yang tidak ada habisnya karena cuaca, panen, pernikahan, kehamilan, penyakit, pemakaman—Adven, Natal, Prapaskah, Paskah—tahun demi tahun; mandi, bilas, ulangi lagi.

Jika saya mengajukan pertanyaan yang sama kepada teman-teman atau mahasiswa saya di Amerika saat ini, saya rasa saya tahu apa yang akan mereka katakan: Yang membuat kekristenan menjadi sulit di zaman dan tempat kita adalah keraguan.

Keraguan tentang keberadaan Tuhan; tentang kebangkitan Yesus; tentang mukjizat; tentang malaikat, setan, dan karunia-karunia Roh Kudus; tentang teks-teks Alkitab atau sejarah di baliknya atau gereja yang memberikannya kepada kita; tentang kredibilitas semua hal di atas. Semua keraguan itu bertengger di ujung jurang yang memisahkan antara “dulu” dan “di sini serta sekarang”: Penindasan dan perbudakan serta takhayul versus kebebasan dan hak asasi manusia serta ilmu pengetahuan. Haruskah kita benar-benar menerima begitu saja kepercayaan para pendahulu kita padahal—kita cenderung berpikir—kita jauh lebih baik dari mereka dalam banyak hal?

Saya tidak sedang menjelaskan tentang kaum ateis, orang murtad, atau mantan orang Injili di sini. Inilah yang dirasakan oleh banyak orang Kristen biasa. Atau paling tidak, inilah air tempat mereka berenang, pikiran yang mengganggu di benak mereka, sumber kelembaman setengah sadar yang mereka rasakan saat alarm berbunyi pada hari Minggu pagi. Orang Kristen Amerika tidak menghadapi aniaya di Kolosseum, tetapi tekanan emosional dan intelektual ini sangat nyata. Keraguan pun makin bertambah.

Sayangnya, keraguan sekarang sedang menjadi tren. Keraguan itu indah, dan tidak hanya dalam budaya yang lebih luas. Saya tidak dapat menghitung berapa kali saya diberitahu oleh seorang pendeta atau profesor Kristen bahwa keraguan adalah tanda kedewasaan rohani. Iman tanpa keraguan adalah dangkal, hanya seperti masa bulan madu. Keraguan adalah sisi lain dari iman, semacam teman bagi kesetiaan. Adanya keraguan merupakan tanda dari pikiran teologis yang sehat, dan ketidakhadirannya… Anda bisa isi sendiri jawabannya.

Kelompok yang pro-keraguan memiliki dua hal penting yang sepenuhnya benar. Pertama, mereka menginginkan adanya ruang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jujur. Kedua, mereka ingin menghilangkan stigma terhadap keraguan.

Mereka ingin gereja menjadi tempat di mana keraguan bukan merupakan patologi, di mana pengalaman keraguan bukanlah merupakan kegagalan moral, di mana keraguan yang ditimbulkan dari pertanyaan, atau pertanyaan yang ditimbulkan dari keraguan akan disambut, didampingi, dan dieksplorasi. Gereja seperti ini akan dikenal dengan budaya hospitalitas rohani. Orang-orang percaya biasa dapat mengatakan dengan lantang apa yang benar-benar membuat mereka terjaga di malam hari, alih-alih memendamnya karena takut dihakimi atau ditolak.

Kita semua seharusnya menginginkan hal-hal tersebut. Jika gereja-gereja telah berbuat salah, para pendeta harus memperbaikinya. Kita tidak ingin anak-anak dan kaum muda berpikir bahwa memiliki berbagai pertanyaan adalah sesuatu yang buruk, apalagi mengikut Yesus berarti berfokus pada hal-hal yang diyakini mustahil, dan mulai memercayainya.

Kalau begitu, di manakah letak kesalahan orang-orang yang pro-keraguan? Saya melihat ada empat hal.

Pertama, orang-orang yang pro-keraguan menyamaratakan pengalaman tertentu. Memang benar bahwa keraguan bukanlah masalah palsu yang dapat diselesaikan dengan sedikit dorongan rohani. Namun, apakah percaya kepada Tuhan yang tak kasat mata atau Yesus yang lahir dari seorang perawan membuat kekristenan menjadi sulit bagi semua orang di mana pun dan kapan pun? Bacalah cukup banyak literatur Kristen yang memuji keraguan dan itulah kesan yang akan Anda dapatkan.

Namun lihatlah sejarah gereja, seperti yang saya lakukan di atas, maka akan terlihat jelas bahwa yang membuat kekristenan menjadi sulit bergantung pada konteksnya. Pemaparan terhadap kehidupan dan tulisan para murid dari lintas abad, yang hidup di masa, tempat, dan budaya yang sangat berbeda, membuat tantangan-tantangan yang kita hadapi terlihat jelas. Tantangan-tantangan tersebut sering kali bersifat pribadi, bukan umum; parokial, bukan kosmis. Tantangan-tantangan itu bukanlah sesuatu yang tak dapat dihindari atau tak dapat diubah. Kekristenan jauh lebih besar dari kawasan Sabuk Alkitab (Bible Belt) di AS atau kaum Barat yang sekuler.

Kedua, orang-orang yang pro-keraguan cenderung menggambarkan keraguan bukan hanya sebagai tantangan universal, melainkan juga sebagai ciri penting dari iman yang dewasa. Ada perpaduan antara bias seleksi dan kelasisme yang sedang terjadi di sini: Para peragu biasanya adalah tipe orang-orang yang makmur, pintar, bergelar sarjana, dan bekerja menggunakan laptop. Tak ada yang buruk dari semua ini; saya cocok dengan kriteria tersebut.

Namun tidak semua orang seperti itu, dan pengalaman iman kita tidaklah universal. Kecenderungan kita untuk bergumul dengan keraguan bukanlah komponen penting dalam mengenal Allah, sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap orang Kristen yang serius. Tidaklah benar jika dikatakan bahwa kedewasaan iman selalu ditandai dengan keraguan. Apakah Musa bertanya-tanya soal Allah itu nyata atau tidak? Apakah Paulus meragukan penglihatannya tentang Allah yang telah bangkit? Bagaimana dengan Julian dari Norwich, biarawati non-hipotetis kita? Apakah iman yang sederhana dan penuh keyakinan dari begitu banyak penatua rohani kita—para nenek di bangku gereja—harus benar-benar “dipermasalahkan” sebelum layak untuk kita hormati? Pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya.

Ketiga, orang-orang yang pro-keraguan bertindak terlalu jauh dengan menjadikan keraguan sebagai suatu kebajikan. Keraguan bukanlah dosa, tetapi tidak berarti hal itu diinginkan. Allah mungkin menggunakannya untuk kebaikan; keraguan bisa jadi merupakan langkah penting dalam perjalanan seseorang bersama Kristus. Namun kita tidak perlu memuliakannya atau merayakannya. Singkatnya, keraguan tidak menuntut pujian atau celaan. Dalam banyak kasus, keraguan merupakan duri dalam daging.

Sebaik-baiknya, keraguan adalah sebuah tangga untuk didaki. Namun tangga bukanlah tujuan akhir. Kita menggunakannya untuk mencapai suatu tempat, untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Berkutat dalam keraguan yang terus-menerus itu ibarat membangun rumah di atas tangga—secara teknis memungkinkan, tetapi jauh dari ideal. Jika seseorang menyarankan tangga sebagai solusi atas kebutuhan Anda akan rumah, Anda pasti akan mempertanyakan penilaiannya.

Terakhir, orang-orang yang pro-keraguan salah mengartikan hakikat dari pertanyaan. Pertanyaan tidak sama dengan keraguan. Thomas Aquinas mengajukan ribuan pertanyaan dalam hidupnya yang singkat. Karya Agustinus, yaitu Confessions, memuat lebih dari 700 pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan katekismus kalau bukan pertanyaan yang diikuti jawaban? Namun di situlah letak masalahnya. Keraguan dimulai dengan hilangnya kepercayaan atau kredibilitas; sedangkan pertanyaan tidak. Anak-anak saya bertanya kepada saya setiap hari, bukan karena mereka meragukan saya, tetapi karena mereka memercayai saya.

Karena itulah orang-orang suci dan kaum mistikus menyukai pertanyaan-pertanyaan, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab dalam hidup ini. Pertanyaan muncul dari dan menumbuhkan kepercayaan kita kepada Tuhan. Pertanyaan menumbuhkan iman.

Membedakan pertanyaan dari keraguan bukanlah untuk memuji pertanyaan dengan menstigmatisasi keraguan. Tujuannya adalah untuk memperjelas bagi orang-orang percaya bahwa meskipun keraguan sering kali menimbulkan pertanyaan, namun pertanyaan tidak selalu (atau bahkan biasanya tidak) menimbulkan keraguan. Ini adalah kabar baik bagi mereka yang merasa cemas di antara kita. Silakan, bertanya saja, demikianlah gereja seharusnya berkata. Tuhan menyambut baik pertanyaan-pertanyaan Anda.

Lalu, apa yang membuat kekristenan menjadi sulit? Apakah ada jawaban yang berlaku untuk kita semua? Sebenarnya, saya percaya ada.

Yang membuat kekristenan menjadi sulit adalah iman, meskipun tidak dalam pengertian yang diharapkan banyak orang. Bagi banyak orang Kristen yang dibesarkan di gereja, iman berarti kepastian mental dan emosional. Itulah sebabnya kehidupan Kristen didefinisikan sebagai percaya sekuat tenaga terhadap hal-hal yang sulit. Dalam model ini, ketika sebuah pertanyaan liar menyembulkan hidungnya masuk ke dalam tenda, Anda hanya punya dua pilihan: Menendangnya keluar dengan cara percaya lebih sungguh lagi atau menerima bahwa iman Anda palsu dan melepaskannya. Beriman berarti saya harus berusaha keras untuk memercayai hal-hal aneh yang dianggap tidak masuk akal oleh orang-orang “modern” di era “ilmiah.” Dengan hal itu sebagai alternatif, tidak heran jika keraguan terlihat menarik!

Namun, iman bukanlah memelihara kepastian internal yang penuh keputusasaan. Iman jika diterjemahkan secara akurat (bahkan mungkin lebih baik) adalah kesetiaan. Beriman berarti memelihara keyakinan, menjaga kesetiaan kepada Allah, memercayai Dia, dan pada gilirannya menjadi orang yang dapat dipercaya. Hal yang paling sulit dalam menjadi seorang Kristen adalah setia kepada Tuhan, apa pun keadaannya.

Entah apakah seseorang hidup di masa penganiayaan atau sendirian di biara, di masa perpecahan dan peperangan atau di masa skeptisisme dan kemakmuran, di masa kejayaan kekristenan abad pertengahan atau di bawah kekuasaan Islam di Iran modern, panggilan Kristus tetaplah sama. Dalam keadaan apa pun, Kristus mengundang kita untuk memikul salib kita dan mengikut Dia menuju Kalvari (Luk. 9:23). Dengan kata lain, kita dipanggil untuk mati.

Terkadang kematian kita bersifat harfiah; terkadang bersifat keagamaan; terkadang bersifat sosial atau finansial atau keluarga. Kadang-kadang semuanya dan lebih banyak lagi (Gal. 2:20). Dalam setiap kasus, terlepas dari semua perbedaan yang tampak di permukaan, kita memikul kuk yang sama. Kristus berjanji kepada kita bahwa kuk ini enak dan bebannya pun ringan—dan memang demikian (Mat. 11:30). Namun kematian terhadap diri sendiri yang diperlukan dalam memikul kuk tersebut adalah penyaliban setiap hari yang menguras habis kekuatan kedagingan kita, agar kita dapat bertahan dalam setiap goncangannya.

Keraguan dapat menjadi bagian dari pergumulan ini. Pergumulan itu nyata, seumur hidup, dan dialami oleh kita semua. Namun, pergumulan itu sendiri bukanlah intinya. Intinya adalah ke mana kita akan pergi. Intinya adalah siapa yang kita teladani. Intinya adalah bahwa salib bukanlah tujuan akhir; kematian bukanlah akhir dari segalanya (1Kor. 15:26, 55–57). Kita tidak ditakdirkan untuk bergumul, menderita, dan bertanya-tanya selamanya. Ketika kita keluar dari kubur, kita akan meninggalkan semua itu. Seperti kain kafan, keraguan apa pun yang pernah membelenggu kita akan tergeletak di lantai. Bebas dari segala beban, kita akan berjalan menuju kehidupan.

Brad East adalah profesor madya bidang teologi di Abilene Christian University. Ia penulis empat buku, termasuk The Church: A Guide to the People of God dan Letters to a Future Saint: Foundations of Faith for the Spiritually Hungry.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Kalimat dari C.S. Lewis yang Dapat Mengubah Hidup Anda

Aslan memang tokoh fiksi, tetapi Singa Yehuda yang sesungguhnya ini mengingatkan bahwa kita telah diampuni.

Ayah yang Setia

Laporan-laporan tentang matinya kebapaan telah sangat dibesar-besarkan. Ada banyak ayah yang baik, seperti ayah saya, yang dengan diam-diam memberkati anak-anaknya.

Generasi Z Beralih ke Dunia Maya untuk Mencari Bimbingan

Public Theology Project

Sepatah Kata untuk Orang Kristen yang Putus Asa

Injil itu nyata. Kisah-kisahnya benar terjadi. Kristus telah bangkit, dan Yesus menyelamatkan. Mengapa kita harus berpaling dari hal itu?

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube